Dalam khazanah tradisi bahari Nusantara yang kaya, pelaut-pelaut tradisional mengandalkan langit malam sebagai peta navigasi mereka. Di antara ribuan bintang yang menghiasi cakrawala, tiga bintang khususnya—Rigel, Betelgeuse, dan Sirius—memainkan peran penting sebagai penunjuk arah yang andal. Rigel, bintang paling terang di rasi Orion, bersama dengan Betelgeuse yang kemerahan, membentuk "tanda panah" yang mengarah ke selatan, sementara Sirius, bintang paling terang di langit malam, sering digunakan sebagai penanda waktu dan musim. Pengetahuan astronomi ini diwariskan turun-temurun melalui cerita lisan, mitos, dan praktik langsung, menciptakan sistem navigasi yang canggih jauh sebelum kompas modern dikenal.
Tradisi bahari Nusantara tidak hanya tentang teknik berlayar, tetapi juga tentang hubungan spiritual dengan laut. Mitos-mitos laut berkembang di berbagai daerah, seperti kisah Nyi Roro Kidul di Jawa atau legenda Putri Duyung di Maluku, yang mencerminkan penghormatan terhadap kekuatan alam. Pelaut tradisional percaya bahwa dengan memahami tanda-tanda alam—termasuk posisi bintang, pola angin, dan perilaku hewan laut—mereka dapat menghindari bahaya dan mencapai tujuan dengan selamat. Rigel dan Betelgeuse, sebagai bagian dari rasi Orion yang mudah dikenali, sering disebut dalam nyanyian kerja (shanty) dan doa-doa pelayaran sebagai "mata para dewa" yang mengawasi perjalanan.
Namun, warisan budaya laut yang berharga ini kini menghadapi ancaman serius dari masalah lingkungan modern. Pencemaran laut oleh sampah plastik, tumpahan minyak, dan limbah industri tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga mengaburkan pandangan bintang di permukaan laut yang tercemar. Di banyak pesisir Nusantara, cahaya bintang seperti Rigel dan Betelgeuse semakin sulit diamati karena polusi cahaya dari perkotaan, memutus mata rantai pengetahuan tradisional yang bergantung pada pengamatan langit malam yang jernih.
Pemanasan laut akibat perubahan iklim memperburuk situasi ini dengan mengubah pola arus dan cuaca, yang sebelumnya diprediksi oleh pelaut melalui posisi bintang. Kenaikan suhu air laut juga mengancam plankton, organisme mikroskopis yang menjadi dasar rantai makanan laut. Plankton tidak hanya penting bagi ikan yang menjadi sumber makanan, tetapi juga bagi rumput laut yang banyak dibudidayakan di pesisir Nusantara sebagai mata pencaharian tradisional. Ketika plankton berkurang, ekosistem laut menjadi tidak seimbang, memengaruhi segala hal dari ikan kecil hingga paus.
Masalah overfishing atau penangkapan ikan berlebihan semakin mempercepat kerusakan ini. Teknologi penangkapan modern yang tidak terkontrol menguras stok ikan tanpa memedulikan kearifan lokal yang dulu mengatur kuota berdasarkan siklus bulan dan bintang. Dalam tradisi bahari, pelaut mengetahui kapan waktu terbaik untuk melaut berdasarkan kemunculan Sirius di langit timur, yang menandai musim tertentu. Namun, tekanan ekonomi dan permintaan pasar sering mengabaikan kebijaksanaan ini, mengakibatkan penurunan drastis populasi ikan yang mengancam ketahanan pangan masyarakat pesisir.
Sirius, yang dalam beberapa budaya Nusantara disebut "Bintang Anjing", memiliki makna khusus dalam penentuan musim tanam dan panen laut. Ketika Sirius terbit bersamaan dengan matahari (fenomena heliacal rising), masyarakat pesisir tahu bahwa musim tertentu telah tiba—baik untuk menanam rumput laut, menangkap ikan tertentu, atau menghindari badai. Pengetahuan ini, yang diintegrasikan dengan pengamatan Rigel dan Betelgeuse, menciptakan kalender maritim yang presisi. Sayangnya, perubahan iklim mengacaukan pola-pola ini, membuat prediksi tradisional menjadi kurang akurat dan mengikis kepercayaan terhadap sistem kearifan lokal.
Rumput laut, selain sebagai komoditas ekonomi, juga memiliki peran budaya dalam tradisi bahari. Di Bali dan Sulawesi, rumput laut digunakan dalam upacara adat sebagai simbol kesuburan laut. Namun, budidaya rumput laut kini terancam oleh pemanasan laut yang meningkatkan suhu air di luar toleransi tanaman ini, serta oleh pencemaran yang mengurangi kualitas air. Ketika rumput laut mati, bukan hanya pendapatan masyarakat yang hilang, tetapi juga bagian dari identitas budaya yang terkait dengan laut.
Plankton, meski jarang terlihat, adalah jantung dari kesehatan laut. Dalam mitologi bahari beberapa suku di Papua, plankton dianggap sebagai "debu kehidupan" yang ditebarkan oleh dewa laut. Penurunan plankton akibat pemanasan laut dan pencemaran kimia berdampak pada seluruh rantai makanan, termasuk ikan-ikan yang menjadi penanda navigasi tradisional. Pelaut dulu menggunakan kumpulan ikan terbang atau keberadaan ubur-ubur sebagai penanda kedalaman air dan arus—pengetahuan yang kini semakin sulit diterapkan karena populasi hewan-hewan ini menyusut.
Untuk melestarikan warisan navigasi bintang seperti penggunaan Rigel dan Betelgeuse, diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan konservasi budaya dengan perlindungan lingkungan. Program edukasi yang mengajarkan astronomi tradisional kepada generasi muda harus disertai dengan kampanye mengurangi pencemaran laut dan mengatasi overfishing. Sumber inspirasi keluarga dapat menjadi salah satu sarana untuk mengenalkan nilai-nilai bahari ini kepada masyarakat luas, termasuk melalui konten kreatif tentang tradisi pelayaran.
Upaya restorasi ekosistem laut, seperti penanaman kembali terumbu karang dan pengaturan zona penangkapan ikan, dapat membantu memulihkan keseimbangan yang memungkinkan pengetahuan tradisional tetap relevan. Ketika laut sehat, pelaut tetap dapat mengandalkan Rigel dan Betelgeuse sebagai panduan, sambil mengadaptasi teknik mereka dengan data cuaca modern. Integrasi antara kearifan lokal dan sains kontemporer ini penting untuk menciptakan sistem kelautan yang berkelanjutan.
Dalam konteks modern, minat terhadap tradisi bahari dan navigasi bintang justru meningkat di kalangan pencinta alam dan sejarah. Platform digital menawarkan kesempatan untuk mendokumentasikan dan membagikan cerita-cerita tentang Rigel, Betelgeuse, dan Sirius kepada audiens yang lebih luas. Dengan demikian, warisan ini tidak hanya menjadi memori masa lalu, tetapi juga inspirasi untuk masa depan yang lebih harmonis dengan laut.
Ancaman pemanasan laut membutuhkan respons global, tetapi tindakan lokal berbasis budaya dapat memberikan kontribusi signifikan. Masyarakat pesisir yang mempraktikkan tradisi bahari sering menjadi penjaga terdepan ekosistem laut, karena pengetahuan mereka tentang siklus alam yang rumit. Dengan mendukung praktik-praktik berkelanjutan seperti budidaya rumput laut ramah lingkungan atau penangkapan ikan musiman, kita dapat melindungi laut sambil melestarikan cerita tentang bintang-bintang pandu yang telah membimbing nenek moyang kita.
Kesimpulannya, Rigel dan Betelgeuse lebih dari sekadar titik cahaya di langit—mereka adalah simbol ketahanan budaya bahari Nusantara yang menghadapi ujian zaman. Dari masalah pencemaran hingga overfishing, tantangan modern mengancam tidak hanya ekosistem laut tetapi juga pengetahuan tradisional yang terkait dengannya. Dengan menghidupkan kembali apresiasi terhadap navigasi bintang dan mengatasi akar masalah lingkungan, kita dapat memastikan bahwa cerita tentang bintang pandu pelaut ini terus bersinar untuk generasi mendatang. Pelajari lebih lanjut tentang cara keluarga dapat terlibat dalam pelestarian warisan bahari melalui sumber-sumber edukatif yang tersedia.